BUDAYA PENGUASAAN HAK DAN PENGELOLAAN TANAH AYAHAN DESA YANG BERADA DI LUAR WILAYAH ADMINISTRATIF DESA ADAT (PERSPEKTIF KAJIAN BUDAYA)
Abstract
Aturan-aturan khusus mengenai tanah sudah ada pada tiap-tiap daerah sejak dahulu dalam bentuk hukum adat. Berdasarkan pada pasal 18 B ayat (2) yang mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat mendukung eksistensi hukum-hukum adat tersebut untuk tetap berlaku hingga saat ini. Termasuk hukum adat yang berlaku di Desa Abangsongan Kecamatan Kintamani, Bangli. Terdapat keunikan pada letak tanah-tanah ayahan desa berada di luar wilayah administratif Desa Adat. Namun seiring berkembangnya jaman mulai muncul konflik-konflik kepentingan yang mengindikasikan melemahnya Hak Penguasaan yang dimiliki krama desa terhadap tanah ayahan Desa Adat. Hal ini menjadi penomena yang sangat menarik dan memiliki urgensi untuk dikaji lebih mendalam melalui tindakan penelitian. Rumusan masalah penelitian ini 1). Bagaimana keberadaan tanah ayahan desa yang berada di luar wilayah administratif Desa Adat Abangsongan? 2). Bagaimana hak penguasaan tanah ayahan desa sebagai druwe desa yang berada di luar wilayah administratif Desa Adat Adangsonan? Metode penelitan empiris dengan pendekatan Sosiologis, budaya, dan Pendekatan Konseptual. Ditemukan bahwa keberadaan tanah ayahan Desa yag ada di luar wilayah administratif Desa Adat secara mutlak dikuasai oleh Desa Adat yang perolehannya berdasarkan kesepakatan dengan pemerintah dalam bentuk tukar ganti rugi, kesepakatan antar warga dengan desa adat serta hadiah sayembara dari kerajaan yang diambil alih penguasaannya menjadi hak milik desa adat. Kemudian hak penguasaan tanah Ayahan Desa Sebagai Druwe Desa Adat secara struktur menerapkan pola tradisional berupa struktur Ulu Abad yang dilengkapi beberapa unsur-unsurnya. Secara substansi ada aturan- aturan yang melarang pengalihan hak dalam bentuk jual-beli atau sewa menyewa tanah ayah desa. Secara Budaya pengelolaan tanah ayah desa didasarkan pada budaya hubungan keluarga antara krama desa pengarep dengan krama desa adat yang berstatus bukan krama desa pengarep. Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas dapat diberikan saran yang ditujukan pada pemerintah serta krama Desa Adat sangat penting untuk segera menuliskan awig-awig ataupun perarem agar dapat di sosialisasikan secara lebih nyata kepada seluruh krama Desa Adat
References
[2] Boedi,Harsono.2003.Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA Isi dan Pelaksanaannya. Jilid I Hukum Tanah Nasional, Cetakan Kesembilan (Edisi revisi).Djambatan.Jakarta.
[3] Kertasapoetra, R.G., A.Setiabudi, 1985. Hukum Tanah, Jaminan Undang-Undang Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, Jakarta, PT Bina Aksara
[4] Jayantiari, I. G. A. M. R., & Wijaya, I. K. K. A. (2017). Tinjauan Yuridis Pengaturan Tanah Druwe Desa di Bali (Aspek Hukum Perlindungan Masyarakat Adat Atas Tanah). WICAKSANA: Jurnal Lingkungan Dan Pembangunan
[5] Suwitra,I Made,2021. Eksistensi Hak Penguasaan dan Pemilikan atas Tanah Adat di Bali Dalam Perspektif Hukum Agraria Nasional.Edisi Revisi.Pustaka Laras. Denpasar.
[6] Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
[7] Undang Undang Nomor 5 Tahun 1996 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria